SISTEM
STATUS DAN PELAPISAN MASYARAKAT
(Laporan
Responsi Sosiologi Pertanian)
Oleh :
Kelompok 3
1.
Afrida
Ayu Audia 1514121107
2.
Devi
Puspita A. Y. 1514121100
3.
Fitroh
Amandini 1514121077
5.
M.
Reza Gemilang 1214121143
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kelompok
etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang
lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama,
perilaku atau ciri-ciri biologis.
Menurut
pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis
pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam
kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman
manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain,
seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai
hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok.
Proses-proses
yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara
keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim
kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog
telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan
norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada
dasarnya adalah temuan yang relatif baru.
Anggota
suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah
(patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu
(matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang
peranakan" untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang
Indo" sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis"
untuk campuran Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran
ras Negro dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya. Adapula
ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera
yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani (peranakan Portugis
seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di
Filipina Selatan, dan sebagainya. Secara kodrati, manusia adalah sebagai
makhluk individu, sosial, dan ciptaan Tuhan. Manusia sebagai makhluk sosial
selalu memerlukan dan membentuk berbagai persekutuan hidup untuk menjaga
kelangsungan hidupnya.
Sifat
alamiah manusia adalah hidup berkelompok, saling menghormati, bergantung, dan
saling bekerja sama. Seperti halnya dalam hubungan antarbangsa, suatu bangsa
satu dengan lainnya wajib saling menghormati, bekerja sama secara adil dan
damai untuk mewujudkan kerukunan hidup baik antar suku bangsa ataupun
antarbangsa. Dalam membina hubungan antar suku bangsa ataupun internasional
indonesia mempunyai tujuan untuk meningkatkan persahabatan, dan kerjasama
bilateral, regional, dan multilateral melalui berbagai macam forum sesuai
dengan kepentingan dan kemampuan nasional. Untuk menciptakan perdamaian dunia
yang abadi, adil, dan sejahtera, Indonesia harus tetap melaksanakan politik
luar negeri yang bebas dan aktif. Dan untuk menciptakan hubungan internasional
yang baik, maka Indonesia harus memiliki hubungan suku bangsa didalamnya yang
baik pula.
B.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut
:
1.
Menjelaskan secara rinci berbagai pola hubungan antar
suku bangsa dengan berbagai aspeknya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Pola Hubungan Antar Suku Bangsa
Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan)
yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari
sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang
sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana
sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Pola yang paling sederhana didasarkan
pada repetisi: beberapa tiruan satu kerangka digabungkan tanpa modifikasi.
Suku bangsa atau kelompok etnik adalah suatu golongan
manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya,
biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun
ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan
oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Suku bangsa
juga diartikan sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitas akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut diperkuat
akan kesatuan bahasa yang digunakan, serta dengan kesatuan kebudayaan yang
timbul karena suatu ciri khas dari suku bangsa itu sendiri bukan karena
pengaruh dari luar.
Kebudayaan
yang hidup dalam suatu masyarakat berwujud sebagai komunitas desa, kota,
kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya yang memunculkan cirri khas
dari masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya konsep suku bangsa sangatlah
kompleks, karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan
diri terikat akan keseragaman kebudayaan tersebut dapat meluas maupun menyempit
tergantung situasi dan kondisi pada saat itu.
Jadi, Pola
hubungan antar suku bangsa adalah bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu
set peraturan yang digunakan untuk membuat atau untuk menghubungkan
golongan-golongan manusia yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya
dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama
ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan kebudayaan.
B. Aspek-Aspek Dalam Hubungan Antar
Suku Bangsa
Koentjaraningrat
(1967) menyatakan bahwa dalam menganalisis pola hubungan antar suku bangsabdan
golongan, terdapat beberapa aspek-aspek penting, yakni:
1. Sumber-sumber
konflik antar suku bangsa
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus
di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Sumber-sumber
konflik menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
Ø Persaingan
untuk memperoleh mata pencaharian yang sama
Ø Warga suatu
bangsa memaksakan unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
Ø Memaksakan
konsep-konsep agama terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
Ø Usaha
mendominasi suatu suku bangsa lain dengan politik
Ø Potensi
konflik terpendam karena permusuhan secara adat
Melihat
beberapa faktor sumber penyebab konflik tersebut memang dalam mengatasi dan
menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu
konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau
tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak
ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.
Musyawarah
untuk mufakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau
lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah
disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi
terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat
mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian
kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
Ø Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak
ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan
keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan
sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan
berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
Ø Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak
diberikan keputusan yang mengikat.
Ø Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang
berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama.
Ø Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan
memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling
menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi
untuk maju atau mundur .
Ø Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di
pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a.
Aspek kualitas warga sukubangsa
Perlunya
diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan
terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka
Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai
faktor pemicu perpecahan atau konflik.
Perlunya
diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan
stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan
pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan
tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami
perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang
berlaku di dalam masyarakat.
2.
Potensi untuk kerja sama menurut Koentjaraningrat
(1967), yakni:
a.
Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama
dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang
berbeda-beda dan saling melengkapi
b.
Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan
kedua suku bangsa yang berkonflik
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
konflik sosial, karena adanya perbedaan sumber penghidupan atau mata
pencaharian, adanya pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari suku bangsa
lain,adanya fanalistik, adanya dominasi dari salah satu suku bangsa, dan adanya
permusuhan atar suku secara adat.
Setiap suku
bangsa atau kelompok manusia mempunyai potensi bagi terciptanya konflik sosial,
sebab setiap manusia dalam suatu kelompok mempunyai kecenderungan untuk
berinteraksi dengan manusia lain di dalam kelompoknya maupun yang berada di
luar kelompoknya. Pada saat berinteraksi inilah konflik sosial dapat
terjadi, karena adanya perbedaan kepentingan dan pandangan dari masing-masing
pihak yang beriteraksi tersebut.
Hanya saja
besar kecilnya konflik sosial yang terhadi sangat ditentukan bagaimana cara
kelompok atau suku bangsa tersebut memandang perbedaan-perbedaan yang terjadi.
Perdamaian
pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik
tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga untuk
menetralisir kedua suku bangsa yang berkonflik.
Perbedaan-perbedaan
tersebut dapat menjadi potensi kerjasama yang harmonis jika kedua suku bangsa
menanggapi setiap perbedaan dari segi positif-negatif bukan hanya dari segi
negatifnya saya. Dengan adanya perbedaan makan antar suku bangsa dapa memenuhi
berbagai aspek yang tidak dimiliki oleh kebudayaan yang ada dalam kebudayaannya
dengan kebudayaan dari suku bangsa lain sehingga terjadi keragaman.
Dalam hal
sosial ekonomi, perbedaan merupakan potensi untuk terjadinya kerjasama, dimana
adanya saling ketergantungan antar suku bangsa untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya.
3. Aneka warna
bentuk masyarakat desa
Aneka warna
bentuk masyarakat desa menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
·
Prinsip hubungan kekerabatan
·
Prinsip hubungan tingkat dekat
·
Prinsip hubungan yang timbul dari dalam masyarakat
pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
·
Prinsip tujuan khusus
·
Kerjasama dan konflik
Hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang
memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial,
maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk
mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan
silsilah. Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek)
atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan.
Hubungan
tingkat dekat merupakan hubungan antar individu ataupun kelompok yang memiliki
kedekatan baik secara fisik maupun emosionalnya, prinsip hubungan lain seperti
prinsip yang terbentuk karena adanya kebudayaan luar yang masuk kedalam
masyarakat atau kelompok etnik tertentu, ataupun hubungan-hubungan karena
tujuan tertentu dan kerjasama serta konflik yang terjadi dalam suku bangsa di
masyarakat pedesaan.
III. ANALISIS ARTIKEL
Koentjaraningrat
(1967) menyatakan bahwa dalam menganalisis pola hubungan antar suku bangsabdan
golongan, terdapat beberapa aspek-aspek penting, yakni:
1. Sumber – Sumber Konflik Antar Suku Bangsa
a. Persaingan untuk memperoleh mata pencaharian
yang sama
b. Warga suatu bangsa memaksakan unsur-unsur
kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
c. Memaksakan konsep-konsep agama terhadap warga
suku bangsa lain yang berbeda agama
d. Usaha mendominasi suatu suku bangsa lain
dengan politik
e. Potensi konflik terpendam karena permusuhan
secara adat
Pada artikel Stereotip dan relasi Etnis Cina dan Jawa pada
mahasiswa di Semarang terdapat sumber konflik yang termasuk usaha mendominasi suatu suku bangsa lain
dengan politik yaitu :
Ø Namun demikian, pokok persoalan nya ternyata
tidak menyangkut masalah ekonomi saja, karena masih ada faktor lain yang layak
dipertimbangkan seperti polotik, sosial budaya, agama dan yang lainnya dimana
tidak selalu menmpatkan etnis Cina dalam posisi secure dan etnis Jawa dalam posisi insecure.
Ø Perasaan diperlakukan tidak adil memicu rasa
permusuhan yang dapat dibaca dari munculnya stereotip negatif atau prasangka.
Hal ini tentunya dirasakan oleh orang-orang Cina akibat perlakuan diskriminatif
yang diterimanya. Namun, orang nampaknya juga merasakan ketidakadilan tersebut
akibat penguasaan ekonomi Cina yang terkesan sangat besar.
Pada artikel Stereotip dan relasi Etnis Cina dan Jawa pada
mahasiswa di Semarang terdapat sumber konflik yang termasuk
potensi konflik terpendam karena permusuhan secara adat yaitu :
Ø Kajian
tentang masalah Cina di Indonesia umumnya menyimpulkan bahwa salah satu akar
permasalahan utama terletak pada perlakuan diskriminatif dari penguasa terhadap
kelompok etnis minoritas ini. Akibatnya orang Cina di Indonesia hidup
sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dan kurang membaur dengan kelompok
masyarakat (etnis) lainnya. Mereka sering menjadi sasaran prasangka bahkan
sasaran amuk masa kalangan pribumi.
Ø Respon
yang lalu berkembang kuat pada etnis Jawa muncul dalam bentuk menyalahkan dan
memusuhi pihak minoritas.
2. Potensi untuk kerjasama meliputi dua hal:
a.
Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama
dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang
berbeda-beda dan saling melengkapi
b.
Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan
kedua suku bangsa yang berkonflik
Pada artikel Stereotip dan relasi Etnis Cina dan Jawa pada
mahasiswa di Semarang terdapat potensi untuk bekerjasama yaitu :
Ø Sebagaimana
terjadi di dunia pendidikan sejumlah sekolah maupun perguruan tinggi swasta
memiliki mahasiswa mayoritas dari kalangan etnis Cina. Sementara itu di sekolah
dan perguruan tinggi negeri amat jarang dijumpai siswa atau mahasiswa etnis
Cina.
Ø Kondisi
ini menurut Soetrismo (1998) dan Dahn (1988) terkait dengan kebijakan
pemerintah yang membatasi jumlah etnis Cina guna diterima di sekolah maupun
perguruan tinggi negeri. Akibatnya di
kalangan masyarakat Cina ada upaya untuk menyelenggarakan pendidikan
sendiri.
3. Aneka warna bentuk masyarakat desa
diklasifikasikan kedalam empat macam prinsip hubungan yang mengikat sekelompok
orang-orang desa yaitu:
a.
Prinsip
hubungan kekerabatan
b.
Prinsip
hubungan tinggal dekat
c.
Prinsip
hubungan yang tidak timbul dari dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang
dari atas desa
d.
Prinsip
tujuan khusus
4. Masing-masing prinsip tersebut mengikat warga
desa menjadi persekutuan hukum sebagai berikut:
a.
Persekutuan
hukum genealogis
b.
Persekutuan
hukum territorial
c.
Persekutuan
hukum atas kebutuhan yang disebabkan misalnya oleh faktor ekologis
d.
Persekutuan
hukum yang ditentukan karena ikatan dari atas desa
IV.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan isi dan
pembahasan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Pola
hubungan antar suku bangsa adalah bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu
set peraturan yang digunakan untuk membuat atau untuk menghubungkan
golongan-golongan manusia yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya
dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama
ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan kebudayaan.
2.
Aspek-Aspek
Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa menurut Koentjaraningrat
(1967):
· Sumber-sumber konflik menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
Ø Persahingan
untuk memperoleh mata pencaharian yang sama
Ø Warga suatu
bangsa memaksakan unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
Ø Memaksakan
konsep-konsep agama terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
Ø Usaha mendominasi
suatu suku bangsa lain dengan politik
Ø Potensi
konflik terpendam karena permusuhan secara adat
·
Potensi untuk kerja
sama menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
Ø Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama
dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang
berbeda-beda dan saling melengkapi
Ø Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan kedua
suku bangsa yang berkonflik
·
Aneka warna bentuk
masyarakat
Ø Prinsip
hubungan kekerabatan
Ø Prinsip
hubungan tinggal dekat
Ø Prinsip
hubungan yang tidak timbul dari dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang
dari atas desa
Ø Prinsip
tujuan khusus
·
Persekutuan hukum
Ø Persekutuan
hukum genealogis
Ø Persekutuan
hukum teritorial
Ø Persekutuan
hukum atas kebutuhan yang disebabkan misalnya oleh faktor ekologis
Ø Persekutuan
hukum yang ditentukan karena ikatan dari atas desa
DAFTAR
PUSTAKA
Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan
Komunitas di Indoensia. YIS dan FIS-nnnnnUI. Jakarta.
Johnson, Paul D. 1986. Teori Sosiologi Klasik
dan Modern. PT Gramedia. nnnnnJakarta.
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya:
Suatu Perspektif Kontemporer. nnnnnErlangga.
Jakarta.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu
Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta.