LITTLE HELPER

Penolong Kecil. Hope you enjoy in my blog.

Selasa, 15 Maret 2016

SISTEM STATUS DAN PELAPISAN MASYARAKAT [Sosiologi Pertanian]




SISTEM STATUS DAN PELAPISAN MASYARAKAT
(Laporan Responsi Sosiologi Pertanian)







Oleh :

Kelompok 3
1.     Afrida Ayu Audia      1514121107
2.     Devi Puspita A. Y.      1514121100
3.     Fitroh Amandini         1514121077
4.     Haitomi                       1514121118
5.     M. Reza Gemilang      1214121143











 











JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015



I.   PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.

Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok.

Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.

Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa. Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang peranakan" untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang Indo" sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis" untuk campuran Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran ras Negro dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya. Adapula ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani (peranakan Portugis seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya. Secara kodrati, manusia adalah sebagai makhluk individu, sosial, dan ciptaan Tuhan. Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan dan membentuk berbagai persekutuan hidup untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Sifat alamiah manusia adalah hidup berkelompok, saling menghormati, bergantung, dan saling bekerja sama. Seperti halnya dalam hubungan antarbangsa, suatu bangsa satu dengan lainnya wajib saling menghormati, bekerja sama secara adil dan damai untuk mewujudkan kerukunan hidup baik antar suku bangsa ataupun antarbangsa. Dalam membina hubungan antar suku bangsa ataupun internasional indonesia mempunyai tujuan untuk meningkatkan persahabatan, dan kerjasama bilateral, regional, dan multilateral melalui berbagai macam forum sesuai dengan kepentingan dan kemampuan nasional. Untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera, Indonesia harus tetap melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dan untuk menciptakan hubungan internasional yang baik, maka Indonesia harus memiliki hubungan suku bangsa didalamnya yang baik pula.

B.     Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1.      Menjelaskan secara rinci berbagai pola hubungan antar suku bangsa dengan berbagai aspeknya.




II.    TINJAUAN PUSTAKA



A.    Pengertian Pola Hubungan Antar Suku Bangsa

Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Pola yang paling sederhana didasarkan pada repetisi: beberapa tiruan satu kerangka digabungkan tanpa modifikasi.

Suku bangsa atau kelompok etnik adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Suku bangsa juga diartikan sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut diperkuat akan kesatuan bahasa yang digunakan, serta dengan kesatuan kebudayaan yang timbul karena suatu ciri khas dari suku bangsa itu sendiri bukan karena pengaruh dari luar.

Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya yang memunculkan cirri khas dari masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya konsep suku bangsa sangatlah kompleks, karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat akan keseragaman kebudayaan tersebut dapat meluas maupun menyempit tergantung situasi dan kondisi pada saat itu.

Jadi, Pola hubungan antar suku bangsa adalah bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang digunakan untuk membuat atau untuk menghubungkan golongan-golongan  manusia yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.

B.     Aspek-Aspek Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa

Koentjaraningrat (1967) menyatakan bahwa dalam menganalisis pola hubungan antar suku bangsabdan golongan, terdapat beberapa aspek-aspek penting, yakni:
1.   Sumber-sumber konflik antar suku bangsa
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Sumber-sumber konflik menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
Ø Persaingan untuk memperoleh mata pencaharian yang sama
Ø Warga suatu bangsa memaksakan unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
Ø Memaksakan konsep-konsep agama terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
Ø Usaha mendominasi suatu suku bangsa lain dengan politik
Ø Potensi konflik terpendam karena permusuhan secara adat

Melihat beberapa faktor sumber penyebab konflik tersebut memang dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.

Musyawarah untuk mufakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.



Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :

Ø  Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
Ø  Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
Ø  Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama.
Ø  Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
Ø  Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

a.       Aspek kualitas warga sukubangsa
Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.

Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

2.      Potensi untuk kerja sama menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:

a.       Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang berbeda-beda dan saling melengkapi
b.      Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan kedua suku bangsa yang berkonflik

Berkaitan dengan hal tersebut di atas beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik sosial, karena adanya perbedaan sumber penghidupan atau mata pencaharian, adanya pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari suku bangsa lain,adanya fanalistik, adanya dominasi dari salah satu suku bangsa, dan adanya permusuhan atar suku secara adat.

Setiap suku bangsa atau kelompok manusia mempunyai potensi bagi terciptanya konflik sosial, sebab setiap manusia dalam suatu kelompok mempunyai kecenderungan untuk berinteraksi dengan manusia lain di dalam kelompoknya maupun yang berada di luar kelompoknya.  Pada saat berinteraksi inilah konflik sosial dapat terjadi, karena adanya perbedaan kepentingan dan pandangan dari masing-masing pihak yang beriteraksi tersebut. 

Hanya saja besar kecilnya konflik sosial yang terhadi sangat ditentukan bagaimana cara kelompok atau suku bangsa tersebut memandang perbedaan-perbedaan yang terjadi.

Perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga untuk menetralisir kedua suku bangsa yang berkonflik.

Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menjadi potensi kerjasama yang harmonis jika kedua suku bangsa menanggapi setiap perbedaan dari segi positif-negatif bukan hanya dari segi negatifnya saya. Dengan adanya perbedaan makan antar suku bangsa dapa memenuhi berbagai aspek yang tidak dimiliki oleh kebudayaan yang ada dalam kebudayaannya dengan kebudayaan dari suku bangsa lain sehingga terjadi keragaman.

Dalam hal sosial ekonomi, perbedaan merupakan potensi untuk terjadinya kerjasama, dimana adanya saling ketergantungan antar suku bangsa untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

3.    Aneka warna bentuk masyarakat desa

Aneka warna bentuk masyarakat desa menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
·         Prinsip hubungan kekerabatan
·         Prinsip hubungan tingkat dekat
·         Prinsip hubungan yang timbul dari dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
·         Prinsip tujuan khusus
·         Kerjasama dan konflik

Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan.

Hubungan tingkat dekat merupakan hubungan antar individu ataupun kelompok yang memiliki kedekatan baik secara fisik maupun emosionalnya, prinsip hubungan lain seperti prinsip yang terbentuk karena adanya kebudayaan luar yang masuk kedalam masyarakat atau kelompok etnik tertentu, ataupun hubungan-hubungan karena tujuan tertentu dan kerjasama serta konflik yang terjadi dalam suku bangsa di masyarakat pedesaan.





























III.      ANALISIS ARTIKEL



Koentjaraningrat (1967) menyatakan bahwa dalam menganalisis pola hubungan antar suku bangsabdan golongan, terdapat beberapa aspek-aspek penting, yakni:

1.      Sumber – Sumber Konflik Antar Suku Bangsa
a.       Persaingan untuk memperoleh mata pencaharian yang sama
b.      Warga suatu bangsa memaksakan unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
c.       Memaksakan konsep-konsep agama terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
d.      Usaha mendominasi suatu suku bangsa lain dengan politik
e.       Potensi konflik terpendam karena permusuhan secara adat

Pada artikel Stereotip dan relasi Etnis Cina dan Jawa pada mahasiswa di Semarang terdapat sumber konflik yang termasuk usaha mendominasi suatu suku bangsa lain dengan politik yaitu :

Ø  Namun demikian, pokok persoalan nya ternyata tidak menyangkut masalah ekonomi saja, karena masih ada faktor lain yang layak dipertimbangkan seperti polotik, sosial budaya, agama dan yang lainnya dimana tidak selalu menmpatkan etnis Cina dalam posisi secure dan etnis Jawa dalam posisi insecure.
Ø  Perasaan diperlakukan tidak adil memicu rasa permusuhan yang dapat dibaca dari munculnya stereotip negatif atau prasangka. Hal ini tentunya dirasakan oleh orang-orang Cina akibat perlakuan diskriminatif yang diterimanya. Namun, orang nampaknya juga merasakan ketidakadilan tersebut akibat penguasaan ekonomi Cina yang terkesan sangat besar.
Pada artikel Stereotip dan relasi Etnis Cina dan Jawa pada mahasiswa di Semarang terdapat sumber konflik yang termasuk potensi konflik terpendam karena permusuhan secara adat yaitu :
Ø  Kajian tentang masalah Cina di Indonesia umumnya menyimpulkan bahwa salah satu akar permasalahan utama terletak pada perlakuan diskriminatif dari penguasa terhadap kelompok etnis  minoritas ini. Akibatnya orang Cina di Indonesia hidup sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dan kurang membaur dengan kelompok masyarakat (etnis) lainnya. Mereka sering menjadi sasaran prasangka bahkan sasaran amuk masa kalangan pribumi.
Ø  Respon yang lalu berkembang kuat pada etnis Jawa muncul dalam bentuk menyalahkan dan memusuhi pihak minoritas.

2.      Potensi untuk kerjasama meliputi dua hal:

a.       Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang berbeda-beda dan saling melengkapi
b.      Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan kedua suku bangsa yang berkonflik

Pada artikel Stereotip dan relasi Etnis Cina dan Jawa pada mahasiswa di Semarang terdapat potensi untuk bekerjasama yaitu :

Ø  Sebagaimana terjadi di dunia pendidikan sejumlah sekolah maupun perguruan tinggi swasta memiliki mahasiswa mayoritas dari kalangan etnis Cina. Sementara itu di sekolah dan perguruan tinggi negeri amat jarang dijumpai siswa atau mahasiswa etnis Cina.
Ø  Kondisi ini menurut Soetrismo (1998) dan Dahn (1988) terkait dengan kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah etnis Cina guna diterima di sekolah maupun perguruan tinggi negeri. Akibatnya di  kalangan masyarakat Cina ada upaya untuk menyelenggarakan pendidikan sendiri.
3.      Aneka warna bentuk masyarakat desa diklasifikasikan kedalam empat macam prinsip hubungan yang mengikat sekelompok orang-orang desa yaitu:
a.       Prinsip hubungan kekerabatan
b.      Prinsip hubungan tinggal dekat
c.       Prinsip hubungan yang tidak timbul dari dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
d.      Prinsip tujuan khusus
4.      Masing-masing prinsip tersebut mengikat warga desa menjadi persekutuan hukum sebagai berikut:
a.       Persekutuan hukum genealogis
b.      Persekutuan hukum territorial
c.       Persekutuan hukum atas kebutuhan yang disebabkan misalnya oleh faktor ekologis
d.      Persekutuan hukum yang ditentukan karena ikatan dari atas desa
















IV.      KESIMPULAN



Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan isi dan pembahasan laporan ini adalah sebagai berikut:
1.      Pola hubungan antar suku bangsa adalah bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang digunakan untuk membuat atau untuk menghubungkan golongan-golongan  manusia yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.
2.      Aspek-Aspek Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa menurut Koentjaraningrat (1967):
·         Sumber-sumber konflik menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
Ø  Persahingan untuk memperoleh mata pencaharian yang sama
Ø  Warga suatu bangsa memaksakan unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
Ø  Memaksakan konsep-konsep agama terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
Ø  Usaha mendominasi suatu suku bangsa lain dengan politik
Ø  Potensi konflik terpendam karena permusuhan secara adat
·         Potensi untuk kerja sama menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
Ø  Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang berbeda-beda dan saling melengkapi
Ø  Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan kedua suku bangsa yang berkonflik
·         Aneka warna bentuk masyarakat
Ø  Prinsip hubungan kekerabatan
Ø  Prinsip hubungan tinggal dekat
Ø  Prinsip hubungan yang tidak timbul dari dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
Ø  Prinsip tujuan khusus
·         Persekutuan hukum
Ø  Persekutuan hukum genealogis
Ø  Persekutuan hukum teritorial
Ø  Persekutuan hukum atas kebutuhan yang disebabkan misalnya oleh faktor ekologis
Ø  Persekutuan hukum yang ditentukan karena ikatan dari atas desa

























DAFTAR PUSTAKA



Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indoensia. YIS dan FIS-nnnnnUI. Jakarta.
Johnson, Paul D. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT Gramedia. nnnnnJakarta.
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. nnnnnErlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta.























0 komentar:

Posting Komentar